Saat pulang sekolah, melihat Umi sedang tidur, Harish
segera merebahkan diri di sisi beliau tanpa mengganti pakaian sekolahnya.
Saat bangun, Harish menangis keras dengan nada yang
sangat sedih, tetapi terselip aura marah dan jengkel.
"Harish kenapa?" tanya Umi, meraih anaknya ke
dalam pelukan. Harish memeluk erat, tapi tetap menangis. Umi meraih gelas yang
ada di meja dan menyodorkan pada Harish, tapi dia menggeleng.
Abi mendekat dan menuntunnya ke kamar mandi, tanpa kata,
membantu Harish membuka baju.
Setelah berganti pakaian dan sholat Ashar, masih dengan
wajah cemberut, Harish duduk di kursi tanpa melakukan apapun, tidak seperti
biasanya yang tak mau diam.
"Harish kenapa?" tanya Umi, membelai kepalanya.
"Kelincinya mati!" jawabnya, dengan nada sedih
campur marah.
"Setiap makhluk hidup pasti akan mati, tinggal
nunggu gilirannya," hibur Umi.
"Tapi kemarin Harish bilang sama Abi, buatin
kandang!"
"Lah, bukannya sudah dibuatin?"
"Nggak ada tutupnya, jadi dimakan hewan lain, nggak
tau apa, kucing atau apa," jelas Harish, masih dengan cemberut.
Kelinci itu dibeli sudah lebih dari seminggu, selama ini
hanya dikandangkan di keranjang cucian yang tidak begitu besar, sehingga kurang
leluasa. Kasihan kelincinya hanya di dalam rumah, kalau tidak di kandang,
keluar masuk kamar dan Umi merasa terganggu, khawatir kotorannya tidak
terkontrol. Itu sebabnya Umi minta kelinci di pindahkan ke Rumah Tahfidz yang
halaman belakangnya luas, dibuatkan kaandang dari kawat.
"Harish, kita boleh memelihara hewan, tapi semua
keperluannya disiapkan dulu. Kalau kelinci, ya siapkan kandang yang memadai,
sehingga dia bebas bergerak dan melompat, makanannya juga dicukupi. Kita nggak
boleh mendzolimi hewan."
"Jadi Harish boleh beli kelinci lagi?"
tanyanya, penuh harap.
"Boleh, kalau bisa memenuhi syaratnya. Jangan sampai
Umi yang harus mencarikan dan memberi makan, atau Abi. Kan Umi dan Abi ada
tanggung jawab lain."
"Horeeee!
No comments:
Post a Comment